Tidak lengkap rasanya, kalau berkunjung ke Aceh tanpa mengunjungi
Museum Tsunami. Museum ini dibangun oleh BRR
NAD-NIAS setelah perlombaan desain yang dimenangkan M. Ridwan Kamil,
dosen ITB dan berhak atas dana 100 juta rupiah. Museum ini sendiri menghabiskan
140 Milyar untuk pembangunannya. Bila diperhatikan dari atas, museum ini
merefleksikan gelombang tsunami, tapi kalo dilihat dari samping (bawah) nampak
seperti kapal penyelamat dengan geladak yang luas sebagai escape
building.Begitu masuk di dalam, anda serasa memasuki lorong gelap gelombang
tsunami dengan ketinggian 40 meter dengan efek air jatuh. Hati-hati
dengan kepala anda, siapkan topi lebar agar rambut dan baju anda tidak basah.
Bagi yang takut gelap dan masih phobia dengan tsunami, tidak disarankan untuk
masuk dari jalur ini. Setelah melewati tempat ini, puluhan standing
screen menyajikan foto-foto pasca tsunami berupa kerusakan dan
kehancuran serta kematian, yang penuh dengan gambar korban dan gambar
pertolongan terhadap mereka.
Setelah dari ruangan ini, anda akan memasuki “Ruang Penentuan
Nasib” atau “Fighting Room”, sering disebut juga The Light of God.
Ruangan ini berbentuk seperti cerobong semi-gelap dengan tulisan Allah dibagian
puncaknya. Hal ini merefleksikan perjuangan para korban tsunami. Dimana, bagi
mereka yang menyerah ketika tersekap gelombang tsunami, maka nama mereka
terpatri di dinding cerobong sebagai korban. Sebaliknya, bagi mereka yang
merasa masih ada harapan, terus berjuang seraya mengharapkan belas kasih dari
Yang Maha Menolong. Begitu mereka yakin akan adanya pertolongan Allah, maka
mereka seakan seperti mendengar adanya panggilan ilahi dan terus berjuang
hingga selamat keluar dari gelombang tersebut.
Alhamdulillah, mereka akhirnya betul-betul bisa keluar dari
gelombang maut tersebut setelah berputar-putar melawan arus. Hal ini direfleksikan
dengan perjalanan memutar keluar dari cerobong tersebut menuju Jembatan Harapan
(Hope Bridge). Ketika mencapai jembatan ini, para survivor melihat
bendera 52 negara, seakan mereka mengulurkan bantuan untuk mereka. Melalui
jembatan ini, seperti melewati air tsunami menuju ke tempat yang lebih tinggi.
Di sini anda akan di sambut dengan pemutaran film tsunami selama 15 menit dari
gempa terjadi, saat tsunami terjadi hingga saat pertolongan datang.
Keluar dari sini anda akan melihat banyak foto raksasa dan artefak
tsunami. Misalnya: jam berdiri besar yang mati saat waktu menunjukkan pukul
8.17 menit atau foto jam Mesjid Raya Baiturrahman yang jatuh dan mati juga pada
saat tersebut. Artefak lainnya ialah miniatur-miniatur tentang tsunami. Misal,
orang-orang yang sedang menangkap ikan di laut dan berlarian menyelamatkan diri
saat gelombang melebihi tinggi pohon kelapa menerjang mereka. atau
bangunan-bangunan rumah yang porak-poranda oleh gempa sebelum datang air bah
“membersihkannya”.
Naik ke lantai tiga, disana
terdapat bermacam-macam sarana pengetahuan gempa dan tsunami berbasis iptek.
Diantaranya sejarah dan potensi tsunami di seluruh titik bumi, simulasi
meletusnya gunung api di seluruh Indonesia, simulasi gempa yang bisa disetel
seberapa skala richtel yang kita mau dan kalau beruntung anda juga bisa “ikut
menikmati” simulasi 4D (empat dimensi) kejadian gempa dan tsunami. Selain itu juga
terdapat desain ideal rancangan tata ruang bagi wilayah yang punya potensi
tsunami.Akhirnya, di ujung kunjungan, anda bisa menikmati beberapa kue kering khas Aceh seperti keukarah, ceupet kuet, gula u tarek dan lainnya di Ruang Souvenir. Terdapat juga kaos-kaos dan souvenir khas Aceh seperti rencong, bros rencong dan bros pinto aceh dan ada banyak lagi. Turun ke bawah, anda bisa bersantai dipinggir kolam jembatan Harapan sambil melihat ikan-ikan hias yang berenang ke sana kemari atau mengambil beberapa moment foto di geladak museum. Bila beruntung, anda bisa berfoto dengan para calon penganten yang sering melakukan foto pra-wedding disini. Tapi bila terasa lapar dan ingin sholat dhuha, tersedia cafe dan ruang musholla bagian bawah sebelah timur gedung. Bila ingin ke kamar kecil, anda bisa menggunakan ruang bawah geladak, setelah gerbang masuk. Akhirnya, semoga kunjungan anda membawa banyak manfaat dan menambah pengetahuan baru yang bisa anda ceritakan sebagai “oleh-oleh” ketika pulang nantinya.
MUSEUM ACEH
Alamat:
Jl.S.A.Mahmudsyah no.12
Banda Aceh 23241
Telp. 0651-23144
Fax. 0651-21033
Jam Kunjungan:
Senin-Kamis 08.30-13.30
Jumat 08.30-11.00
Sabtu 08.30-12.30
Minggu 08.30-13.30
Sore buka 14.30-18.00
Tiket:
Dewasa Rp 1.500,00
Museum Aceh didirikan pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil
dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Pada waktu
itu bangunannya berupa sebuah bangunan Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh).
Bangunan tersebut berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran
Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus - 15
November 1914. Di samping memamerkan berbagai macam koleksi pribadi
F.W.Stammeshous (Kurator Atjeh Museum), Paviliun Aceh saat itu juga memamerkan
aneka ragam benda pusaka para pembesar Aceh sehingga Paviliun tersebut tampil
sebagai paviliun yang paling lengkap koleksinya dan memperoleh 4 medali emas,
11 medali perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik.
Atas keberhasilan tersebut F.W.Stammeshous mengusulkan kepada Gubernur Aceh
H.N.A.Swart agar Paviliun itu dibawa kembali ke Aceh untuk dijadikan Atjeh
Museum yang kemudian diresmikan 31 Juli 1915 di Banda Aceh.
Setelah Indonesia merdeka,
operasionalisasi Museum Aceh secara bergantian diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah Tk.II Banda Aceh sampai tahun 1969, Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda
(Baperis) sampai tahun 1975, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sampai tahun
2002, dan kini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi (Pasal 3 ayat 5 butir
10f), operasionalisasi Museum tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 10 Tahun
2002 tanggal 2 Februari 2002, status Museum Aceh menjadi UPTD Museum Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam di lingkungan Dinas Kebudayaan.
Sampai 2003 Museum Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam mengelola 5.328 koleksi benda budaya dari berbagai jenis, dan
12.445 buku dari berbagai judul yang berisi aneka macam ilmu pengetahuan.
Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang
miliki tinggi beragam sesuai dengan arsitektur si pembuatnya, namun pada
kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5 - 3 meter dari atas tanah. Terdiri
dari tiga atau lima ruangan di dalamnya, untuk ruang utama sering disebut
dengan rambat.
Merombak rumoh Aceh terbilang tidak
begitu susah, misalnya saja ingin menambah ruangan dari tiga menjadi lima, maka
tinggal menambahkan atau menghilangkan tiang bagian yang ada pada sisi kiri
atau kanan rumah. Karena bagian ini yang sering disebut dengan seuramoe
likot (serambi belakang) dan seuramoe reunyeun (serambi
bertangga), yakni bagian tempat masuk ke rumoh Aceh yang selalu menghadap ke
timur.
Rumoh Aceh yang bertipe tiga ruang
memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima ruang memiliki 24 tiang. Bahkan
salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an) yang berada di persimpangan
jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja-raja Pidie,
Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang,
sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar. Ukuran tiang-tiang yang
menjadi penyangga utama rumoh Aceh sendiri berukuran 20 - 35 cm.
Memasuki pintu utama rumoh Aceh, kita
akan berhadapan dengan beberapa anak tangga yang terbuat dari kayu pada
umumnya. Untuk tingginya sendiri, pintu tersebut pasti lebih rendah dari tinggi
orang dewasa.
Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150
cm dan membuat siapa pun yang masuk harus sedikit merunduk, konon makna dari
merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan
rumah saat memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan
kedudukannya. Selain itu juga, ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai
hati orang Aceh. Hal ini terlihat dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang
sulit untuk memasukinya, namun begitu kita masuk akan begitu lapang dada
disambut oleh tuan rumah.
Saat berada di ruang depan ini atau
disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe reungeun, akan kita dapati
ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi dan meja. Jadi, setiap
tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara lesehan atau bersila di atas
tikar bak ngom (sejenis tumbuhan ilalang yang ada di rawa lalu
diproses dan dianyam) serta dilapisi dengan tikar pandan.
Bagian-bagian Rumoh Aceh
Saat melihat rumoh Aceh, kita akan
menjumpai terlebih dahulu dengan bagian bawahnya. Bagian bawah ini
akrab disebut dengan yup moh/miyup moh, yakni bagian antara tanah dan
lantai rumah.
Lazimnya dibagian bawah ini bisa kita
dapati berbagi benda, seperti jeungki(penumbuk padi) dan kroeng (tempat
menyimpan padi). Tidak hanya itu, bagian yup moh juga sering
difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak, membuat kain songket Aceh yang
dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa dijadikan sebagai kandang untuk
peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.
Beranjak ke bagian dalam rumoh
Aceh merupakan tempat dimana segala aktifitas tuan rumah, baik yang
bersifat pribadi ataupun bersifat umum. Pada bagian ini, secara umum
terdapat tiga ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.
Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe
reungeun merupakan ruangan yang tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam
sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat
tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji saat malam
atau siang hari. Disaat-saat tertentu, seperti ada upacara perkawinan atau
upacara kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi tempat penjamuan tamu untuk
makan bersama.
Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe
teungoh merupakan bagian inti dari rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula
disebut sebagai rumoh inong (rumah induk). Sedikit perbedaan dengan
ruang lain, dibagian ruangan ini terlihat lebih tinggi dari
ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan bersifat sangat
pribadi. Di ruangan ini pula akan kita dapati dua buah bilik atau
kamar tidur yang terletak di kanan-kiri dengan posisi menghadap ke utara
atau selatan dengan pintu yang menghadap ke belakang. Di antara kedua
bilik itu terdapat pula gang yang menghubungkan ruang depan dan ruang
belakang. Rumoh inong biasanya ditempat untuk tidur kepala
keluarga, dan anjong untuk tempat tidur anak gadis.
Bila anak perempuan baru saja kawin,
maka dia akan menempati rumah inong ini. Sedang orang tuanya
akan pindah ke anjong. Bila ada anak perempuannya yang kawin dua
orang, orang tua akan pindah ke seuramoe likot, selama belum
dapat membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat upacara perkawinan,
mempelai akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada
kematian rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk
memandikan mayat.
Ruangan belakang disebut seuramoe
likot yang memiliki tinggi lantai yang sama dengan seuramoe
reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat kamar. Fungsinya sering
dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama keluarga, selain
itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk
berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan
seperti menenun dan menyulam.
Namun, ada waktunya juga dapur sering
dipisah dan malah berada di bagian belakangseuramoe likot. Sehingga ruang
tersebut dengan rumoh dapu (dapur) sedikit lebih rendah lagi
dibanding lantai seuramoe likot.
Setelah bagian bawah dan bagian dalam,
kita lihat bagian atas dari rumoh Aceh. Tentunya bagian ini terletak
di bagian atas seuramoe teungoh. Pada bagian tersebut sering diberi loteng
yang memiliki fungsi untuk menyimpan barang-barang penting keluarga.
Ternyata membuat rumoh Aceh bukan hal
mudah, jika dilihat dari segi bahan-bahan bangunan yang digunakan bisa susah
kepayang untuk dicari saat ini, terutama kayu yang merupakan bahan utamanya.
Kayu sendiri banyak digunakan untuk membuattameh (tiang), toi, roek,
bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain
sebagainya. Ada juga kayu yang telah dijadikan sebagai papan, ini biasanya akan
digunakan untuk membuat lantai dan dinding rumah.
Trieng (bambu) juga tidak kalah
penting dalam pembuatan rumoh Aceh, salah satu gunanya untuk membuat gasen (reng),
alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain
sebagainya. Enau atau aren juga adakalanya digunakan untuk membuat lantai
dan dinding selain menggunakan bambu, daun Enau sendiri bisa juga sebagai
pengganti daun rumbia untuk atap rumoh Aceh.
Ada juga taloe meu-ikat (tali
pengikat) yang dibuat ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang untuk
saat ini biasa digunakan tali plastik. ‘Oen meuria (daun rumbia,
buahnya sering dikenal dengan salak Aceh) merupakan salah satu bagian penting
untuk pembuatan atap dari rumoh Aceh. Dan yang terakhir setelah ada daun
rumbia, tentu peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Salah satu kegunaan
pelepah rumbia digunakan untuk membuat dinding rumah, seperti rak-rak, dan
sanding. Namun, pelepah ini bukan semata-semata pengganti dari papan.
Filosofi dan Keunikan Rumoh Aceh
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui rumoh Aceh kita dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang di yakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia.
Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika hendak menggabungkan bagian-bagian rumah yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun. Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat.
Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai;
Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan
Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Wujud dari arsitektur rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adap tasimasyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosialuntuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan wargagampong (kampung).
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya.
Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani. Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan.
Ada juga keunikan lainnya dari rumoh Aceh, yakni terletak di atapnya. Tali hitam atau tali ijuk tersebut (lihat gambar sebelah kiri) mempunyai kegunaan yang sangat berarti, saat terjadi kebakaran misalnya yang rentan menyerang atap karena bahan dari rumbia yang begitu mudah terbakar, maka pemilik rumah hanya perlu memotong tali tersebut. Sehingga, seluruh atap yang terhubungan atau terpusat pada tali hitam ini akan roboh dan bisa meminimalisir dampak dari musibah yang terjadi.
Dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memiliki anggapan bahwa dalam pembuatan rumoh Aceh memiliki garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya.
Jika arah rumoh Aceh menghadap kearah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk kekamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk rumoh Aceh.
Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat.
Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka “pantang dan tabu” bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian,reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.